wibiya widget

Minggu, 15 Agustus 2010

Inilah Kronologi Terorisasi Aceh yang Dipakai untuk Menjerat Ba'asyir


Penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dikaitkan dengan tudingan terlibat kegiatan terorisme di Aceh. Inilah kronologi terorisasi di Aceh yang didalangi oleh seorang desertir Brimob:

DESEMBER 2008

Israel melakukan agresi terhadap Gaza untuk yang kesekian kalinya tepatnya 27 Desember 2008 sampai 18 Januari 2009. Dalam serangan agresi ini, Israel menggunakan bom phosphor dan senjata kimia lainnya yang melanggar hukum internasional. Atas serangan agresi membabi-buta tersebut dunia merespon dengan mengeluarkan kecaman. Dunia Islam khususnya memberikan reaksi yang keras atas agresi tersebut. FPI sebagai ormas Islam yang berkedudukan di Indonesia merespon dengan mengumumkan membuka posko-posko untuk pendaftaran mujahidin guna dikirim ke Gaza.

JANUARI 2009

FPI Aceh sebagai salah satu ujung tombak dalam organisasi adalah salah satu yang menjadi pelaksana dari program rekruitmen mujahidin tersebut. Secara resmi, DPD FPI Aceh membuka posko pendaftaran pada tanggal 10 Januari 2009, bertempat di Mushola Nurul Muttaqin, desa Bathoh Banda Aceh dan Pondok Pesantren Darul Mujahidin Lhokseumawe.

Dari hasil pendaftaran tersebut berhasil menjaring sebanyak 125 orang mujahidin untuk dilatih dan kemudian bila memenuhi kriteria dan sesuai kemampuan yang dimiliki organisasi akan diberangkatkan ke Gaza. Pelatihan dilaksanakan pada tanggal 23-27 Januari 2009 di pesantren Darul Mujahidin Lhokseumawe. Pelatihan tersebut berlangsung terbuka dan mendapat liputan dari media lokal khususnya.

…Instruktur dalam pelatihan tersebut adalah seorang yang menawarkan diri untuk menjadi pelatih yaitu Sofyan Tsauri, deserter Polisi…

Instruktur dalam pelatihan tersebut adalah seorang yang menawarkan diri untuk menjadi pelatih yaitu Sofyan Tsauri, deserter Polisi yang pernah bertugas di Polda Jabar.

FEBRUARI 2009

Para peserta pelatihan di Aceh, yang berjumlah lebih kurang 15 orang datang ke Jakarta untuk persiapan berangkat ke Gaza.

15 Februari 2009, sebagian peserta pelatihan di Aceh yang tengah berada di Jakarta, secara individual tanpa diketahui pimpinan rombongan pergi ke Depok menemui mantan pelatih mereka yaitu Sofyan Tsauri.

21 Februari 2009, selesai persiapan untuk keberangkatan ke Gaza yang ditunda karena berbagai alasan, salah satunya serangan Israel atas Gaza telah berhenti, para mujahidin diminta untuk pulang terlebih dahulu ke Aceh, menunggu instruksi dan perkembangan situasi di Gaza lebih lanjut.

Dari 15 orang mujahidin yang datang ke Jakarta, 5 orang pulang ke Aceh dan 10 orang secara diam-diam, tanpa pemberitahuan ke DPP FPI, pergi ke Depok, rumah tempat tinggal Sofyan Tsauri, mantan pelatih mereka di Aceh.

10 orang tersebut tinggal selama lebih kurang 1 bulan di rumah Sofyan Tsauri dengan biaya yang sepenuhnya ditanggung oleh Sofyan Tsauri, termasuk uang saku dan biaya makan serta kebutuhan lainnya.

…Selama kurun waktu satu bulan, 10 orang yang berasal dari Aceh tersebut dilatih dan diindoktrinasi oleh Sofyan Tsauri yang membolehkan cara-cara perampokan untuk membiayai jihad…

FEBRUARI-MARET 2009

Selama kurun waktu akhir Februari hingga akhir Maret 2009, 10 orang yang berasal dari Aceh tersebut dilatih dan diindoktrinasi oleh Sofyan Tsauri. Adapun salah satu bentuk indoktrinasi tersebut adalah membolehkan cara-cara perampokan untuk membiayai jihad, menyebarkan kebencian dan permusuhan semata-mata atas dasar orang asing.

Adapun pelatihan yang dilakukan adalah melakukan pelatihan menembak dengan menggunakan peluru tajam (peluru asli) di dalam Markas Komando Brimob Kelapa Dua. Masing-masing peserta pelatihan diberikan sekitar 30 hingga 40 peluru tajam untuk latihan menembak tersebut.

Peserta latih juga diberikan uang saku perminggu selama proses pelatihan tersebut.

…Adapun pelatihan yang dilakukan adalah menembak dengan menggunakan peluru tajam asli di dalam Markas Brimob Kelapa Dua…

Dari informasi yang didapatkan peserta latih, Sofyan Tsauri ini secara sengaja meletakkan surat pemecatan dari kepolisian untuk dibaca oleh peserta latih, yang berisi bahwa yang bersangkutan dipecat karena terlibat dalam kegiatan jihad, melakukan poligami dan jarang masuk kerja.

JANUARI 2010

6 orang dari 10 orang yang mengikuti pelatihan di Depok, kediaman Sofyan Tsauri, ikut serta dalam pelatihan militer di Jantho Aceh Besar. Pelatihan kali ini juga difasilitasi oleh Sofyan Tsauri.

FEBRUARI 2010

Pelatihan militer di Jantho Aceh Besar disergap oleh aparat keamanan.

MEI 2010

Pelatihan Militer di Jantho Aceh Besar dihubungkan dengan penggerebekan kelompok Dulmatin di Pamulang, dan diekspos oleh kepolisian dan media massa sebagai pelatihan untuk persiapan kegiatan terorisme. [taz/SI]


Sumber : http://voa-islam.com/news/indonesia/2010/08/13/9145/inilah-kronologi-terorisasi-aceh-yang-dipakai-untuk-menjerat-ba%27asyir/

Rabu, 11 Agustus 2010

Memainkan Opini "Mengatasi Masalah dengan Masalah"

Saya jadi ingat dengan moto dari Pegadaian " Mengatasi Masalah Tanpa Masalah" tapi kok berbeda sekali dengan apa yang terjadi di negara ini...
Masalah muncul ada tanpa jelas kemudian ujungnya, suatu amasalah berakhir setalah tidak rame lagi, ibarat sinetronm kalo ratingnya menurun dan gak laku biasanya pindah jam tayang, atau sebenatra lagi episodenya berakhir. Begitupun kasus-kasus di negeri ini, opini atau berita akan padam setelah jenuhnya opini masyarakat tentang masalah itu, dan siap-siapalah digantikan oleh episode baru , masalah baru...
Misalkan sekarang episode baru tentang Penangkapan Abu Bakar Baasir yang penuh kontoversi, episode sebelumnya adalah Teror Bom Gas Elpiji, Sebelumnya Rekening Gemuk Para Jendral Polisi, ada lagi yang cuup Penomenal dan episode ini mendapat rating yang cukup tinggi yaitu kasus Video mesum Ariel, dan episode-episode lainnya yang sengaja dihadirkan untuk menutupi kasus yang lebih besar lagi yang mungkin mengancam kepentingan penguasa yang lebih besar lagi, misalkan salah satu contohnya kasus Bank Century yang mungkin akan berujung pada dana Tim Sukses atau apa... walau juga entahlah hanya mereka yang tahu... yang jelas masyakat tidak boleh tahu.

Di negara yang totaliter media menjadi alat filterisasi informasi, mana yang boleh diketahui oleh masyarakat dan mana yang tidak boleh, sebagai contoh yang baru saja terjadi ketika Korea Utara memutus Siaran Langsung pertandingan FIFA di Afrika Selatan ketika bertanding dengan Portugal dengan skor 7-0, bahkan ketika skor 4-0 siaran langsung langsung diputus.
Lalu bagaimana dengan negara demokrasi yang begitu bebas ini, pemerintah tidak bisa menghentikan siaran seenaknya saja seperti di Korea Utara. Namun dengan cara yang berbeda.
Ketika laju informasi sebitu sulit dibendung, dan akses informasi terjadap masyarakat tidak boleh ditutup maka cara yang bisa ditempuh dengan mengisi berita itu dan menghujani media dengan berbagai masalah yang harus diangkat untuk menutupi masalah yang lain.

Sehingga yang terjadi di negeri ini media dujani oleh berbagai masalah yang mungkin segaja dibuat untuk menutupi masalah yang lain, sehingga opini publik tertuju pada masalah yang disekenariokan oleh pihak tertentu.
Semua masalah yang terjadi di negeri ini ada sutradaranya, dimana dia duduk manis merancang semua opini publik, masalah mana yang harus dimunculkan, media apa yang harus meliput, menganalisa apakah masalah yang dia angkat ratingnya tinggi atau tidak, apakah perlu diganting dengan episode baru atau tidak, dan lainnya.
Yang Jelas kita sebagai masyarakat yang mengkonsumsi itu adalah korban dan ingat untuk harga sebuah opini kadang membutuhkan tumbal, siapa yanag akan ditumbalkan... mungkin anda.... WASPADALAH....!!!

Rabu, 04 Agustus 2010

Saatnya Hukum Mendengar Hati Nurani

M. Budi Mulyadi, SH, MH, CH.

Manusia sebagai mahluk sosial memerlukan hukum agar tiap haknya terjaga dengan baik, agar keadilan bisa tegakan, agar ketertiban bisa dilaksanakan.
Apabila seorang yang lemah mendapat perlindungan hukum dari pemerintah, dari para penindas orang yang lebih kuat. Agar yang yang lemah tidak tidak terlalu lemah dan yang kuat tidak terlalu kuat. itu adalah idelanya hukum.
Lalu tengoklah apa yang terjadi dewasa ini. Hukum hanya menjadi alat saja, bukanlah alat bagi keadilan, bukan pula menjaga keimbangan dalam kehidupan. ironinya hukum menjadi masalah sebagian dari yang lain. Jika hukum menjadi alat maka yang memegang alat adalah orang yang kuat, yang menjadikan dirinya semakin kuat, jika yang memengang alat adalah orang kaya, maka hukum menjadikannya lebih kaya lagi dengan cara yang jauh dari nilai kepantasan.

Lalu apa bedanya bila tanpa ada hukum jika semua cita-cita hukum itu tidak tercapai.

Seseorang yang memiliki akses hukum yang kuat, menggunakan hukum sebagai alat untuk menindas dan menyiksa orang, seperti contoh diatas apakah setimpal balasan atas pencurian semangka dengan tendangan pukulan setalah itu harus juga berurusan dengan hukum dan mendekam dipenjara, sebagai tulang punggung keluarga harus menapkahi keluargapun pun terpaksa ia tinggalkan. Apakah ini adil?
Apakah hukum tidak hati nurani? tentu saja tidak harena hukum ini dihidupkan oleh para penegak hukum mulai dari polisi sampai hakim. Lalu pertanyaannya kemudian apakah para penegak hukum ini tidak punya hati? Lalu kemudian mereka juga berdalih "demi kepastian hukum"
Menjadi sangat menyedihkan ketika para penegak hukum menyalahkan hukum, sedangkan hukum mereka hidupkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi.
Sudah saatnya para penegak hukum lebih mengedapankan hati nurani dibanding kepastian hukum, yang sebenarnya bisa mereka langggar atas nama keadilan, kebenaran dan hati nurani, karena para penegak hukum pun bisa melakukan diskresi.
Cukup sudah hukum menjadi permainan retorika, argumentasi dan logika, bukan itu yang butuhkan masyarakat namun keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. seorang hakim jika hanya mengandalkan intelektual dan logika saja, rasanya dengan teknologi sekarang ini bisa kita gantikan peranannya dengan keberadaan komputer, cukup buat program komputer masukan database pasal, delik, dan hukuman, maka ada kasus tinggal input dan langsung keluar berapa berat hukumannya, cukup seperti itu, bahkan sangat simpel. dunia saat ini tidak perlu hakim yang berperan sebagai terompet undang-undang, bahkan bagi hakim yang seperti itu lebih baik digantikan dengan komputer karena komputer tidak bisa disogok.
Apa gunanya jika hakim tidak menggunakan hati nurani, itulah fungsi hakim untuk memberikan keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Sudah saatnya gunakan hati nuarani dan kecerdasan lebih tinggi lagi dari sekedar intelektual, naiklah pada level selanjutnya kecerdasan emosional yang digunakan dalam penyelesaian hukum.

Sudah saatnya sistem hukum berubah menjadi lebih baik dengan menggunakan hati nurani.

Rabu, 21 Juli 2010

Ironinya Negeri ini



Negeri ini begitu makmur...
Negeri ini begitu kaya...
Negeri ini begitu subur...

Tapi mengapa seperti ini

Kemiskinan dimana-mana
Kejahatan merajalela
Seolah tanpa hati
Hari diisi oleh amarah dan dengki
Para pejabat bagai penjahat
Keserakahan menjakiti
Menggunakan kekuasaan untuk menindas
Cara licik untuk merebut kursi
Tak ragu mengorbankan rakyat kecil

Kapan semua ini berakhir....
Kapan kedamaian kembali..
Kapan kesejahteraan tercipta..

Selasa, 20 Juli 2010

TAHAPAN POTENSI KECERDASAN MANUSIA DALAM MEMAHAMI HUKUM

TAHAPAN POTENSI KECERDASAN MANUSIA

DALAM MEMAHAMI HUKUM

Oleh : M. Budi Mulyadi, SH, MH, CH

A B S T R A K


Hukum seharusnya menjadi obat bagi masyarakat, kehadiran hukum dengan wujud palu hakim yang diketukan seharusnya menjadi solusi bagi keadilan dan kebenaran. Namun telah banyak kita saksikan berbagai ketimpangan dalam hukum. Masyarakat semakin gerah dengan keputusan-keputusan hakim yang tidak berpihak pada rasa keadilan masyarakat.

Permasalahan keadilan dan kebenaran selalu menjadi isu utama dalam hukum. Apakah hukum menjadi sarana bagi keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan? Kemudian juga muncul pertanyaan bagaimana menentukan standar kebenaran dan keadilan yang sebenarnya.

Konteks pembahasan keadilan dan kebenaran adalah pembicaraan tentang manusia, sehingga terlebih dahulu harus memahami bagaimana esensi manusia itu. Berbicara tentang esensi manusia ada empat pendekatan yang bisa digunakan, yaitu Physical Potential (dimensi pisik), Intellectual Potential (dimensi intelektual), Emotional Potential (dimensi emosional) dan Spiritual Potential (dimensi spiritual). Dengan pendekatan empat dimensi dasar potensial yang dimiliki manusia mencoba untuk sedikit memberi presfektif yang berbeda tentang hukum, kebenaran dan keadilan.

Kata Kunci :

Hukum, Keadilan dan kebenaran, potensi manusia, hati nurani, Physical Potential, Intellectual Potential, Emotional Potential, Spiritual Potential.

I. PENDAHULUAN

Sejak peradaban manusia ada, keadilan dan kebenaran menjadi sesuatu yang terus diperebutkan dan diperbincangkan. Hukum sebagai sarana yang diharapkan untuk menegakan keadilan dan kebenaran ternyata tidak seperti itu. Para pakar ilmu hukum saling beragumen untuk membuat standar tentang hukum agar berlaku adil. Walau sebenarnya perdebatan mereka sebatas teori, namun sekurang-kurangnya itu menjadi rujukan akan adanya standar yang harus dipenuhi oleh para penegak hukum dan dijadikan sebagai acuan.

Standar kebenaran hukum yang terus diperbincangkan oleh para pemikir dan pemerhati hukum ada yang meletakan kebenaran pada kesepakatan masyarakat dan mayoritas, ada yang menstandarkan pada keputusan penguasa, ada yang mencoba menstandarkan dengan ajaran agama, moralitas, hati nurani, kitab perundang-undangan dan suara hakim.

Prakteknya hukum di Negara ini, dimana para hakimnya dalam memutuskan perkara di meja hijau lebih banyak menstandarkan hukum pada kitab perundang-undangan. Lalu bagaimana dengan standar tersebut yang begitu normative dihubungkan dengan rasa keadilan masyarakat dan hati nurani.

Sebagai salah satu contoh kaus yang cukup menggemparkan rasa keadilan adalah kasus Prita, dia sebagai korban dari pelayanan sebuah Rumah Sakit yang buruk, kemudian kekecewaannya itu dia sampaikan melalui beberapa email ke teman dekatnya, selanjutnya email itu tersebar ke beberapa pengguna internet lainnya, akirnya tuduhan pencemaran nama baik menjadi tuntutan yang dituduhkan kepada Prita. Dari peristiwa tersebut mengalir berbagai simpati dari masyarakat bahkan sampai Presiden pun memberikan tanggapan kasus ini. Namun ketika pihak rumah sakit mengajukan banding hakim Pengadilan Negeri Banten memberikan putusan bahwa Prita harus membayar kerugian kepada pihak Rumah Sakit Omni sebesar Rp. 204 juta. Walau pada akhirnya pada tahap selanjutnya setelah melakukan banding Prita dapat terlepas dari jeratan hukum.

Sangat Banyak kasus serupa yang begitu mencoreng nama keadilan atas nama hukum, hukum seolah tidak menapak pada moralitas dan hati nurani masyarakat. Hati hakim sebagai sebagai pemutus perkara ibarat robot yang hanya menterjemahkan hukum tanpa ada sisi sensitifitas dan kemanusiaan dalam dirinya. Namun inilah realita hukum yang ada di negeri ini.

Usaha perlawanan terhadap putusan hukum tanpa hati nurani dan moral ini telah banyak dilakukan oleh praktisi dan pemerhati hukum. Seperti di Amerika muncul gerakan Critical Legal Studies, di Indonesia muncul pemikiran Hukum Progresif. Yang pada intinya mereka menentang ketidakadilan yang dilakukan hukum.

Permasalahan hukum juga yang begitu kompleks tidak hanya bermuara pada para penegak hukum tetapi masyarakat yang tidak percaya pada hukum dan kurangnya kesadaran hukum.

Pemahaman masyarakat tentang hukum hanya sebatas aturan yang berstandar ganda. Bagi masyarakat bawah dimana kemampuan ekonomi yang lemah, hukum dirasakan begitu tegas, keras, tanpa ampun. tanpa toleransi dan tanpa hati nurani. Sedangkan sebaliknya hukum bagi kelas atas hukum menjadi tumpul, lamban, lembek, ringan, asas praduga tak bersalah dijalankan, dan penuh toleransi. Munculah stigma dimasyarakat bahwa hukum bisa dibeli, dan hal ini jelas menurunkan wibawa hukum dan Negara, sehingga menghilangkan kesadaran hukum dimasyarakat. Karena dipahami hukum adalah sesuatu yang jauh dari kebenaran dan keadilan, sehingga hanya pantas ditakuti oleh masyarakat tingkat bawah.

Melihat fenomena para penegak hukum yang tanpa hati nurani dan begitu jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, juga kesadaran masyarakat akan hukum begitu rendah mengakibatkan keresahan yang begitu tinggi. Hukum tidak lagi berfungsi sebagai solusi justru hukum menjadi sumber masalah. Permasalahan-permasalahan hukum yang terus menunpuk dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada hukum dan Negara menimbulkan besarnya potensial untuk melakukan perlawanan masyarakat terhadap Negara dan penguasa, lebih jauhnya adalah revolusi.

Untuk itu perlu standar hukum yang berpihak kepada rasa kemanusiaan dan melihat manusia secara keseluruhan, dimana tidak cukup hanya nurani karena hati nurani terkadang subjektif, tergantung dari hati nurani masyarakat ini berpihak kepada siapa, kepada terdakwa atau tersangka. Untuk memainkan itu tinggal siapa yang akan lebih diekspose dimedia maka dialah yang akan memenangkan hati masyarakat.

Manusia sebagai mahluk yang paling sempurna dengan berbagai potensi, manusia memiliki beberapa kecerdasan untuk mengukur dan menilai fenomena yang ada disekelilingnya yaitu pisik, intelektual, emosional dan spiritual.

II. PEMBAHASAN

Hukum terbentuk memiki efek yang besar terhadap kelangsungan hidup manusia, namun apakah hukum yang ada sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Apakah dalam membuat hukum dan pelaksanaan dalam menjalankan hukum serta penegakan hukum ini disesuaikan dengan fitrah manusia itu sendiri, sehingga hukum benar-benar memanusiakan manusia.

Hukum tidak hanya sebatas deretan aturan yang harus dipatuhi untuk ketertiban, namun dirasa menjadi tekanan dan tanpa kerelaan untuk menjalankannnya sehingga masyarakat dibuat stress dengan hukum, dan pelanggaran atau kejahatan akan dilakukan sekiranya bisa lolos dari jeratan penegak hukum.

Hukum dimasyarakat berjalan bukanlah yang kuat melawan yang lemah, tapi hukum dipahami sebagai kesadaran dari lubuk sanubari yang terdalam sehingga ada penegak hukum atau tidak ada penegak hukum tetap berjalan dengan baik. Kesadaran hukum juga tidak terbentuk dari kebiasaan sehingga tiap daerah yang memiliki kebiasaan yang berbeda-beda maka cara menjalankan hukumnya pun berbeda tergantung komunitas dan kelas. Sedianya hukum adalah sama karena esensi manusia diciptakan sama, dan kalaupun berbeda bukan dalam tataran prinsip, namun lebih pada tataran teknis.

A. Empat dimensi potensial manusia

Untuk lebih memahami manusia secara esensi, dimana manusia memiliki potensial yang sama dan bahan yang sama dalam memahami suatu fenomena yang ada pada dirinya dan lingkungannya. Yaitu potensi pisik, potensi intelektual, potensi emosional dan potensi spiritual.

1. Physical Potential

Potensi pisik dimana mengukur sesuatu secara lahiriah dan indrawi yang dapat dirasakan oleh tubuh, dilihat oleh mata, didengar oleh telinga. Physical Potensial manusia atau potensi fisik menempati level yang paling bawah, diantara potensi-potensi manusia lainnya.

Hukum dilevel ini dipahami sebagai punishment dan reward, yang bersalah mendapat hukuman badan sedangkan yang berprestasi mendapat hadiah yang baik.

Pemahaman tentang hukum pada umumnya berada pada level ini sehingga hukum bagi si pelanggar dan si pelaku kejahatan dipahami sebagai sesuatu yang menakutkan, merugikan, menyiksa dan menyakiti.

Level Physical ini adalah basic pemahaman dari hukum dari masyarakat, sehingga dengan pemahaman ini penjahat harus disiksa atau sejenisnya, dan ini terbukti dengan penghakiman oleh massa pada pelaku pencuri atau pencopet yang tertangkap, insting masyakat atau korban melakukan siksa pada pelaku. Sehingga sangat tidak adil kalau penjahat tidak mendapat hukuman badan dan dapat bebas dari jeratan hukum yang menyiksa.

Begitu pun bagi yang berprestasi merasa berhak mendapat reward, karena perbuatan manusia bermotif dan membutuhkan penghargaan baik berupa materil atau imateril.

Walau penerapannya tentu tidak pada bidang pidana atau perdata namun perlu dalam bidang ketenagakerjaan, Administrasi ketatanegaraan dan bidang lainnya telah dilaksanakan.

2. Intellectual potential

Potensi intelektual atau sering disebut Intellectual Quotient (IQ) terletak dalam fungsi dalam otak yang disebut sebagai Neocortex, yang ditemukan pada tahun 1905 di Paris oleh Binet.[1] Intellectual Quotient atau kecerdasan intelektual adalah kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio.[2] Pada awalnya pengukuran kesuksesan seseorang ditentukan oleh besarnya IQ, sehingga orang yang memiliki IQ lebih dari 100 maka akan suskses dalam hidupnya. Kemapuan inteletual, analisa dan logika menjadi begitu penting dalam perkembangan manusia terutama bidang hukum.

Dalam proses hukum erat kaitannya dengan logika dan analisa, keterampilan dalam menggunakan kecerdasan ini begitu penting artinya dalam proses hukum.

Analisa hukum penting artinya dalam membongkar suatu masalah hukum, dan logika hukum mutlak diperlukan dalam memutuskan sebuah kasus. Dalam proses ini referensi hukum adalah peraturan perundang-undangan, sehingga kepastian hukum begitu jelas dan kuat.

Dalam level kedua ini hukum dipahami bahwa hukum haruslah logis, berdasar dan harus memiliki dasar yang kuat sehingga akhirnya yang ingin dicapai kepastian hukum.

Semua putusan hukum terasa telah adil apabila telah sesuai dengan aturan positif yang ada, dan tidak melanggar mekanisme hukum. Dengan cara ini pergulatan logika dan analisa antara para petarung hukum bermain dalam memecahkan kasus hukum, yang menjadi batasan adalah aturan perundang-undangan.

3. Emotional potential

Kecerdasan Emosional dalam otak manusia terdapat dalam fungsi Lymbicsystem. Pada tahun 1995 dimunculkan teori tentang Emosional Quotient (EQ) oleh Daniel Goleman dalam bukunya Working with Emotional Intelligence.[3] Menurut Ari Ginanjar EQ adalah kemampuan suara hati sebagai sumber informasi, atau sederhananya EQ adalah kemampuan untuk merasa.[4]

Memahami kecedasan emosional sebagai kemampuan untuk merasakan dan peka terhadap kata hati, yang dimiliki oleh orang sebagai basic instinct. Setiap orang pada umumnya akan merasakan hal dan respon yang sama terhadap suatu keadaan, sebaai contoh ketika melihat orang dianiaya kita akan merasa menetang itu, jika melihat orang yang kondisi tubuhnya menghawatirkan kita akan kasihan, dan respon-respon lainnya yang umum yang dirasakan manusia pada umumnya.

Rasa ini begitu penting artinya dalam kehidupan manusia dalam berinteraksi, orang yang memiliki kecerdasan emosional yag sering mengabaikan hati nurani maka orang tersebut tanpa perasaan. Semisal seorang hakim boleh jadi memberi putusan sesuai dengan perundang-undangan, namun akan jauh dari rasa keadilan masyarakat karena tidak memakai hati nurani.

Bagi masyarakat dan rasa kemanusiaan, hati nurani begitu penting artinya dibandingkan hukum, karena hati nurani mengambarkan bagaimana manusia sebagai mahluk yang hidup dan berkembang serta dinamis. Hukum tanpa hati nurani akan sangat kering dan jauh dari keadilan yang diinginkan masyarakat. Kita tidak dapat menstandarkan hukum pada sebuah buku perundang-undangan yang dibuat dimasa lalu atau hasil pemikiran sekelompok orang untuk dipaksakan digunakan dalam kehidupan sedangkan konsep-konsep tersebut sudah tidak relevan dengan kehidupan masyarakat.

Dilevel ini hukum dimaknai sebagai kebenaran universal yang bersumber dari moral nilai-nilai kebenaran pada umumnya, yang disesuaikan dengan karakter masyarakat. Hukum harus bersumber dari karakter dan hati nurani masyarakat pada umumnya sehingga rasa keadilan ini terjadi. Aplikasinya dalam penerapan hukum seorang hakim harus menyatakan bersalah jika bertentangan dengan nilai-nilai moral dan hati nurani, dan membebaskan seorang terdakwa karena hati nurani bicara bahwa yang dilakukannya adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan hati nurani. Sehingga seorang hakim harus memberi pemahaman tentang alasan mengapa terdakwa dijatuhi vonis bersalah karena bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran bukan karena pelanggaran pasal-pasal dan angka-angka yang tidak dipahami oleh masyarakat.

4. Spiritual potential

Keberadaan Spiritual quotient (SQ) secara ilmiah telah diakui dkarena telah dilakukan penelitian yang ilmiah. Kecerdasan spiritual dalam otak manusia terletak di fungsi God Spot atau temporal lobe, ditemukan tahun 2000 oleh V.S. Ramachandran dari California University dan juga ditemukan oleh Michael Persinger yang disebut fungsi the Binding Problem.

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas hanif dan ikhlas. SQ adalah suara hati Ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat.[5]

Dalam berbuat dan berprilaku seseorang yang memiliki kecerdasan spriritual yang tinggi selalu merasa seluruh tingkah lakunya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan, sehingga dalam setiap langkah dan kesempatan perbuatan selalu dikaitkan dengan ibadah. Ada aspek vertical antara perbuatan manusia dengan konteks ketuhanan.

Dalam konteks hukum pemahaman dan motivasi untuk melaksanakan hukum sebagai sesuatu yang ditaati dan dipatuhi adalah sebuah kerangka yang dibingkai dalam frame ibadah. Setiap pelanggaran dan kejahatan yang tidak sesuai dengan hukum dimaknai sebagai sebuah dosa.

Kesadaran dilevel tertinggi menjadikan seseorang yang berada dilevel ini telah mencapai kesempurnaan dalam perilaku, bahkan tidak hanya pada tataran lahiriah tetapi telah mencapai pada tataran niat.

Agama dan hukum menjadi sesuatu yang terpisah dan jauh, agama dipahami sebagai hal yang metafisika yang perlu dijauhi. Tokoh-tokoh seperti Comte, Karl Marx, Nietzsche dan masih banyak lagi tokoh yang lahir dengan penolakan terhadap agama.

Kondisi inilah yang disebut Dr. Nurkholis Madjid yang dikutip dari Baigent, Krisis Epistimologi, yakni masyarakat Barat tidak lagi mengetahui tentang makna dan tujuan hidup (Meaning and Purpose of Life).[6] Manusia modern melihat segala sesuatu hanya dari pinggiran eksistensinya saja, tidak pada spiritualitas dirinya, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya,[7] makna hidup dan tujuan dari hidupnya.

Kembali pada potensi spiritual yang dimiliki tiap manusia, namun ada yang memupuknya namun banyak juga yang menumpulkannya sehingga dalam hidupnya tidak mensertakan kehadiran Tuhan. Lepas dari dari nilai spiritual berarti lepas dari makna hidup dan tujuan hidup. Manusia seperti binatang berakal, ia tidak tahu sebenarnya mengapa manusia itu diciptakan, untuk apa diciptakan, dan tidak tahu bahwa ada kehidupan setelah kematian.

Apakah masyarakat memahami makna kehidupan kalau tidak ditunjang dengan sistem hukum yang memaknai adanya kehidupan. Dilevel inilah seharusnya hukum diintegrasikan dengan nilai-nilai spiritual. Ketaatan terhadap hukum dimaknai sebagai ketaatan terhadap Tuhan, dan tiap perilaku yang sejalan dengan hukum menjadi nilai ibadah sebagai reward yang akan dipetik nanti dikehidupan setelah kematian. Sedangkan pelanggaran terhadap hukum dimaknai sebagai sebuah dosa yang mendapat siksa di akhirat kelak. Ada motivasi eskatoris dalam memaknai hukum dan setiap aspek dalam kehidupan, yang memudahkan pengendalian masyarakat terhadap hukum.

B. Empat tangga mencapai kesadaran hukum

Efektifnya sebuah sistem hukum tidak lepas dari peranan kualitas hukum itu sendiri, perangkat hukum, sarana hukum dan paling penting adalah masyarakat sebagai subjek hukum.

1. Tangga pertama di level physical

Pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat diawali oleh kesadaran hukum yang rendah. Para pelaku kejahatan yang telah terbiasa melakukan kejahatan pada umumnya mereka begitu bias antara yang benar dan salah, ia tidak lagi memahami mana hak orang lain dan hak dirinya. Sebagai contoh pencuri melakukan pencurian karena merasa bahwa barang yang dicuri itu menjadi hak dirinya setelah barang itu dicuri. Pada pemahaman ini para penjahat sudah sangat bias akan nilai-nilai kebenaran ini tercermin dari perbuatannya, mungkin ia mengetahui mana yang benar dan tidak, namun bawah sadarnya tidak bicara demikian sehingga tiap perbuatannya tidak mencerminkan bahwa dirinya tahu mana yang benar dan salah.

Manusia yang tidak dapat membedakan antara benar dan salah ibarat binatang berakal. Ia tidak tahu nilai-nilai moralitas dan hati nurani yang harus dijungjung tinggi. Seperti manusia memperlakukan hewan peliharaan, apabila hewan tersebut nakal dan tidak mematuhi perintah pemiliknya maka dihukum dengan cara dipukul dan tidak bisa dengan kata-kata, begitupun kalau baik dengan hadiah makanan kesukaannya. Namun apakah manusia dapat pula seperti hewan tadi, ia tidak mempan dengan hukum, yang ia takutkan adalah hukuman penjara, denda dan polisi atau sejenisnya yang banya terasa menyiksa dan merugikan.

Manusia dengan kesadaran rendah inilah dalam memahami hukum pada level physical. Ia memahami hukum denagan cara sederhanan, ia pahami hukum sebagai siksa, karena bila tidak ia patuhi, akan ia terima siksa yang menyakitkan bagi tubuhnya, motivasi yang sederhana dan sangat dasar, bahkan hewan pun memilikinya.

2. Tangga kedua di level intelektual

Setelah orang memahami jika melanggar hukum itu akan mendapat siksa bagi tubuh, maka kemudian ia akan berhati-hati pada hal apa saja yang diperbolehkan, dan apa yang dilarang menurut aturan yang berlaku. Kemudian selanjutnya akan memahami hukum, bahwa apa-apa yang dilarang oleh aturan perundang-undangan yang berlaku itulah yang yang harus dijauhi dan dihindari.

Hukum yang berupa aturan tertulis dimana menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak, semua yang tertulis dalam aturan itulah yang menjadi dasar. Hukum dalam berbentuk tertulis, karena dengan tertulis jelas dan tidak terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu, tulisan dapat dilihat dimanapun dan kapanpun.

Hukum dimaknai dengan perundang-undangan yang barang tentu dalam bentuk tertulis, dan dianggap salah jika memutuskan atau membuat kebijakan tidak berdasarkan hukum yang berlaku. Perundang-undangan menjadi pokok terpenting dari hukum, sehingga siapa yang mampu untuk membuat undang-undang, atau punya pengaruh terhadap kearah mana perundang-undangan ini akan dibuat, ataupun orang yang mampu berkelit dan mengetahui celah-celah kelemahan sebuah aturan, maka kuasalah dia akan hukum.

Dalam tataran ini hukum merupakan permainan intelektual, karena pada kenyataanya hukum merupakan aturan-aturan mati yang tertulis dalam sebuah buku, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Hukum positif tentulah tidak ada yang sempurna, masih ada celah-celah dimana memungkinkan seseorang lolos dari jeratan hukum. Karena itu siapa yang cerdas dalam menganalisa dan menggunakan logika hukum dengan baik maka ia dapat menguasai hukum dengan baik. Sebagai contoh seorang penjahat dapat lepas dari jeratan hukum karena kesalahan kop surat, kesalahan nama, kesalahan tuntutan atau hal-hal yang sifatnya formil.

Pada umumnya perdebatan hukum dan beradu argumen pada level ini, dimana hukum begitu banyak ditarik oleh berbagai kepentingan, seperti kepentingan politik, kepentingan ekonomi, kepentingan sosial dan sebagainya.

Di Indonesia kepentingan politik begitu mendominasi berbagai macam kebijakan terutama hukum. Sehingga pada kenyataanya hukum mengikuti kehendak politik, sehingga hukum menjadi alat politik. Saat seperti itu terjadi pembenaran hukum begitu banyak terjadi, dengan mengatasnamakan hukum formil mencoba meraih kemenangan hukum walaupun bertentangan dengan hati nurani, namun dalam hal ini hukum hanya sebatas alat bagai politik, dan kebenaran formil yang digunakan sehingga kadang jauh dari kebaran materil yang inginkan oleh masyarakat.

Di negara liberal dimana aktivitas ekonomi menjadi hal sangat penting, motiasi ekonomi begitu mendominasi sehingga hukum harus mengupayakan keberpihakan pada pemegang kekuasaan ekonomi. Namun perlu diperhatikan bahwa kebenaran lebih berpihak pada hati nurani dibanding para pemilik modal, namun di negara liberal dimana para pemilik modal yang memiliki daya tawar yang sangat tinggi dalam mengatur kebijakan dan tentu hal ini berimbas pada hukum. Akses kebijakan dan penerapan hukum lebih berpihak pada pemilik modal sehingga jelas hukum kembali hanya sekedar alat bagi segelintir orang agar lebih bisa melanggengkan kekuatannya, sehingga tentu hal ini jauh dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat terutama golongan kecil yang tidak memiliki akses yang besar terhadap ekonomi.

Pada level intelektual yang bicara, hukum dipahami sebagi seperangkat aturan yang tertulis dan legal. Bila tidak tertulis atau tidak terdapat dalam perundang-undanagn itu bukanlah hukum yang harus dipatuhi. Intinya adalah kepastian hukum yang dijunjung tinggi, atau kebenaran formil yang sangat dijunjung tinggi sedangkan kebenaran materil tidak menjadi tolak ukur utama.

3. Tangga ketiga di level emosional

Manusia adalah mahluk yang memiliki hati nurani yang bisa menakar mana yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang berlaku dalam masyarakat. Setiap manusia memiliki basic instinct yang sama ketika merespons terhadap apa yang umumnya terjadi disekitarnya.

Sebagai contoh seseorang yang disakiti akan merasa sakit dan mungkin menentang itu, ketika seseorang dihina ia akan sakit hati. Hampir semua sepakat merespons terhadap suatu tindak kejahatan sebagai suatu yang salah dan harus dihukum. Seperti respons terhadap kasus pembunuhan, kasus pencurian, kasus penipuan, kasus penganiayaan dan kejahatan lainnya tiap manusia yang normal akan mengutuk akan perbuatan jahat tersebut.

Jadi hal tersebut jelas manusia memiliki kemampuan untuk menakar bagaimana keadilan itu secara objektif, manusia secara dasar dapat memutuskan ini salah atau tidak tanpa harus melihat dahulu Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau peraturan Perundang-undangan, bahkan banyak orang yang menjadi semakin dibingungkan dengan keberadaan peraturan-peraturan ini. Sehingga dalam prakteknya kebenaran dan keadilan ditakar oleh sebuah buku peraturan perundang-undangan bukan lagi dengan hati nurani manusia secara dasar.

Konsep hukum yang harus bersadarkan hati nurani seperti yang pernah diungkapkan oleh mantan Hakim Bismar Siregar, “apabila untuk mendapatkan nurani hukum, kta diharuskan untuk membuang segala peraturan hukum yang berlaku, maka buanglah peraturan hukum tersebut.” Bagi seorang hakim tentu memiliki hati nurani dalam memutus perkara adalah sebuah kemutlakan, sehingga hakim tidak hanya sebatas terompet undang-undang dan mengabaikan hati nurani.

Berbicara konsep budaya hukum yang hidup dalam masyarakat tentu berbeda karakter dari suatu tempat ke tempat lainnya, tentu itupun ditakar kembali oleh hati nurani dari masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh bagi penduduk asli Irian Jaya ketika wanita tidak memakai baju dan laki-laki yang hanya mengenakan koteka tanpa memakai baju dan celana tentu tidak dipermasalahkan, namun berbeda dengan masyarakat di pulau Jawa yang mengangap itu sebuah perbuatan yang tidak senonoh dengan tidak memakai baju dan celana yang pantas.

Kebenaran dan keadilan kembali menjadi hidup dan tidak kaku karena tidak digeneralisir menurut peraturan perundang-undangan saja. Hukum hidup selaras dengan perkembangan masyarakat dari masa ke masa dan sesuai dengan budaya masyarakat yang dengan berbagai keragaman budaya dan karakter masyarakat.

Selain corak budaya juga hukum harus bisa memberikan bobot berbeda bagi tiap bobot kejahtan itu sendiri. Sebagai contoh hukuman bagi seorang pencopet berbeda dengan yang mencuri uang ditoko yang berjumlah jutaan dengan ditambahnya bobot hukuman yang lebih berat lagi, dan akan berbeda juga dengan korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah yang dengan objek pencurian uang bernilai milyaran tentu mendapat hukuman yang seberat-beratnya karena berefek besar terhadap masyarakat secara tidak langsung. Walau sebenarnya bentuk kejahatannya adalah pencurian uang namun jumlah uang atau efektif yang ditimbulkan dari kejahatan itu juga harus berefek pada besar kecilnya hukuman yang akan dijatuhkan kepada si penjahat.

Memahami hukum yang sesuai dengan hati nurani tidak identik dengan hukum yang belas kasihan dan toleransi terhadap kejahatan. Justru sebaliknya menjadi hukum yang tegas dan berpihak pada korban kejahatan. Hati nurani yang dimaksud adalah hati nurani korban atau masyarakat dan tentu bukan pada pihak terdakwa. Sebagai contoh seseorang yang membunuh anak perempuan dengan terlebih dahulu diperkosa kemudian dimutilasi, tentu perbuatan biadab seperti itu tidak akan ditolelir oleh masyarakat sehingga hukuman mati adalah hukuman yang paling layak.

Namun yang paling penting yang perlu digaris bawahi dalam level potensi emosional adalah menitikberatkan pada hati nurani masyarakat sebagai tolak ukur dari kebenaran dan keadilan. Hal ini karena hubungan kecerdasan emosional erat kaitannya dengan bagaimana mengelola hati dan perasaan terhadap orang lain, karena kecerdasan ini adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan masyarakat disekitarnya.

Di level kecerdasan emosional hukum dipahami sebagai aturan yang sesuai dengan hati nurani masyarakat pada umumnya, sehingga menjadi hukum yang bernurani dan tingkat moral yang tinggi. Kebenaran materiil harus lebih dijunjung dibandingkan kebenaran formil. Dan menjadi tidak adil ketika hukum hanya berlandaskan pada perundang-undangan saja yang lebih kaku, apalagi jika bertentangan dengan hati nurani dan moralitas masyarakat. Karena hukum dibuat guna memenuhi kebutuhan manusia akan keadilan dan menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi, dan Tuhan telah menciptakan manusia begitu sempurna sehingga dapat memahami yang mana adil dan tidak atau benar dan tidak, karena manusia memiliki kecerdasan untuk memahami itu.

Kesadaran hukum yang tercipta pada level ini memahamai bahwa suatu perbuatan hukum yang tidak sesuai dengan hati nurani adalah sesuatu yang salah, walau itu dibenarkan secara hukum (formil).

4. Tangga keempat di level spiritual

Manusia sebagai mahluk yang bertuhan tentu memiliki potensi untuk merasakan keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang mengetahui segala hal yang kita lakukan. Pada seseorang yang memiliki ketakwaan tentu ia memahami adanya kehidupan setelah kematian, sehingga segala perbuatan ia hubungan dengan balasan yang kelak akan diterima di kehidupan tersebut atau di akhirat. Berangkat dari pemahaman itu bagi seseorang yang beriman tidak akan melakukan perbuatan kejahatan atau kecurangan karena ia takut akan konsekuansi yang akan ia terima karena perbutan tersebut perbuatan dosa yang dibenci oleh Tuhan.

Memaknai hidup semata-mata sebagai ujian dan apa yang dimiliki adalah sesuatu yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak, seperti tubuh, waktu, usia, harta benda, jabatan, anak, istri, bawahan dan segala hal yang dimiliki manusia. Hidup di dunia ini dan segala usaha yang dilakukan diorientasikan untuk ibadah dan pengabdian kepada Tuhan.

Tertanamnya nilai eskatoris atau berorintasi pada akhirat akan menciptakan karakter yang pasti akan selaras dengan nilai-nilai kebenaran. Bahkan standar kebenaran yang paling mutlak adalah kebenaran yang bersumber dari Tuhan. Dengan bersandarkan pada itu maka tiap perbuatan menjadi bernilai ibadah dan menjadi poin yang besar diakhirat kelak. Namun sebaliknya jika melakukan dosa maka yang akan ia terima adalah siksa yang pedih nanti di akhirat. Keberadaan akhirat sebagai sesuatu yang diyakini menjadi alat pengontrol perilaku dan tindak-tanduk dalam kehidupan keseharian, bahkan sangat efektif, karena tidak memerlukan perangkat hukum untuk mengawal hal ini. Jika ada istilah, kejahatan terjadi karena ada niat dan kesempatan, dan terpenting adalah adanya niat, karena kesempatan bisa diciptakan bila benar-benar diusahakan. dalam hal tersebut bagi orang beriman niat untuk melakukan kejahatan pun telah terkikis oleh keimanan karena ini adalah perbuatan dosa, sehingga walau terus dihadapkan pada banyak kesempatan, tapi tidak akan membuat ia melakukan perbuatan jahat tersebut.

Dalam ajaran agama Islam orang yang beriman memiliki karakter ikhsan yaitu ia merasa terus diawasi oleh malaikat, sekecil apa pun yang ia lakukan malaikat mencatatnya dengan detail. Dan sekecil apapun perbuatan itu akan mendapatkan balasan diakhirat nanti. Seperti dalam Q.S. 99 Al Zalzalah 6-8 : Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

Setiap muslim yang taat akan memahami begitu besar efeknya tiap perbuatan manusia ketika hidupnya karena akan mendapatkan balasan yang setimpal, seperti dalam Q.S 53. An Najm 31 : Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga).

Pada level ini memahami kejahatan dan pelanggaran hukum adalah sebuah dosa yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Sebagai contoh seorang pengemudi motor menggunakan helm sebagai upaya menjaga amanah dari Allah berupa kepalanya yang harus dijaga dari segala macam bahaya terutama ketika sedang menjalankan motor, jadi menggunakan helm menjadi niai ibadah.

Pada level spiritual yang tinggi akan menjadikan seseorang akan berperilaku sangat baik dan bijaksana dalam kesehariannya, yang ia akan sangat menjauhi perbutan jahat, melanggar atau mencoba berbuat yang tidak bermanfaat bagi dirinya dan orang disekitarmya. Level ini adalah level tertinggi dari kesadaran hukum karena kesadaran yang tumbuh secara vertikal dengan Sang Pencipta. Kesadaran yang muncul dari dalam diri dan ini berlaku baik ia sedang sendiri ataupun ditengah masyarakat.

C. Empat Tangga dalam Memahami Hukum

Potensi berupa kecerdasan pisik, intelektual, emosional dan spritual merupakan sebuah tahapan-tahapan yang runut, dan seharusnya dari terendah sampai tertinggi menjadi sehingga diperoleh kebenaran dan keadilan yang paling sempurna. Jika tujuan akhir dari hukum adalah keadilan[8], maka untuk memperolehnya tidak pada pemahaman hukum dilevel pisik, karena banyak orang yang takut dihukum misalnya kalau dijalan tidak pakai helm takut ditilang polisi. Dilevel kesadaran hukum selanjutnya misalkan orang memakai helm karena ini merasa diwajibkan oleh perundang-undangan, dilevel kesadaran yang lebih tinggi lagi ia memakai helm karena merasa tidak enak kalo tidak memakai helm karena pada umumnya kalau pengemudi memakai helm. Dan dilevel kesadaran hukum selanjutnya sesorang pengemudi memakai helm berdasarkan kesadaran dan merasa harus guna menjaga kepala dari benturan kecelakaan jika kecelakaan terjadi, sebagai bentuk usaha untuk menjaga amanah yang Tuhan berikan.

Pemahaman hukum tertinggi pada nilai eskatoris yang dimiliki jelas akan memberikan dampak yang signifikan dibanding pemahaman yang lebih rendah dari itu karena lahir dari dalam diri dan hubungannya langsung dengan Maha Pencipta. Namun jelas dalam prakteknya akan tercipta ketaatan dan kepatuhan hukum yang dtinggi, apalagi jika diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.

Ketika awalnya memahami hukum karena takut akan hukuman, kemudian mulai mengetahui bahwa itu ada aturannya dan tidak ingin melanggar hukum, selanjutnya semua dilakukan berdasarkan kesadaran moral lalu kemudian disadari bahwa apa yang dilakukan adalah merupakan perwujudan dari bentuk pengabdian kepada Tuhan.

Pembicaraan permasalahan keadilan dan kebenaran dari sebuah putusan hukum kadang sangat sulit sekali terwujud. Walau pengadilan ada ditiap kabupaten tetapi keadilan sangat jarang ditemukan, dikaitkan dengan potensi manusia dalam memaknai hal tersebut terjadi tidak digunakannya potensi manusia secara maksimal. Proses yang terjadi banyak yang terhenti pada tahapan intelektual saja. Proses hukum tidak dibarengi penilaian hati nurani dan aspek eskatorisnya, efeknya banyak putusan hukum yang masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, hakim hanya mengacu pada peraturan yang ada, tanpa kemudian menakar keadilan dan kebenaran pada aspek materil dan hati nurani. Apalagi dilihat bahwa tiap putusan yang dikelurkan oleh hakim akan ia pertanggungjawabkan kepada Tuhan di akhirat nanti.

Begitupun bagi para penegak hukum, dalam menegakan hukum tidak semena-mena karena dilandasi nilai-nilai ibadah yang tentu tidak mengesampingkan hati nurani dan aturan yang ada. Penegakan hukum menjadi sebuah nilai ibadah dan kewajiban bagi masyarakat yang bertaqwa. Dengan demikianlah tercapailah masyarakat yang menjunjung tinggi hukum dan hukum menjadi sangat berwibawa.

Bila keempat potensi itu dihunakan maka berdampak significant, perubahan-perubahan besar terjadi, kejahatan menurun drastis, kekuatan hukum, ekonomi, sosial dan budaya pun akan memperlihatkan kesempurnaan dari masyarakat yang dibina oleh nilai-nilai spiritual.

III. PENUTUP

Konsep pemahaman hukum dalam penegakan hukum pada umumnya dibingkai oleh pemahaman yang cukup dangkal, ini terbukti dengan reaksi masyarakat yang cukup kecewa denga penegakan hukum yang ada. Masih banyak kita lihat keluarga korban yang melakukan tindakan anarkis setelah putusan hakim dijatuhkan, masih banyak para koruptor yang sangat sulit ditangkap dan dijebloskan ke penjara, masih banyak makelar kasus. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran hukum.

Berbicara tentang kesadaran hukum dilihat dari potensi dasar manusia dibagi menjadi empat tahapan, yaitu :

Potensi pisik, dimana memahami hukum hanya sabatas reward dan funishment, sehingga tanpa ada pengawasan dan jika ada kesempatan orang akan termotivasi melakukan kejahatan.

Potensi Intelektual, memahami hukum hanya sebatas aturan, sehingga selama tidak keluar dari karidor hukum formil. Tidak dinamakan kejahatan walau bertentangan dengan hati nurani dan rasa keadilan masyarakat selama dalam koridor hukum. Begitupun penegakan hukum menjadi kaku karena hakim memutus perkara hanya berfungsi sebatas terompet undang-undang.

Potensi Emosional, hukum dipahami sebagai penjelmaan dari nilai-nilai moral dan hati nurani masyarakat. Ada takaran kebenaran universal yang diinginkan oleh basic instink manusia, dan kebenaran materil yang menjadi rujukan utama dari sebuah pemahaman dan pemaknaan hukum, dan hukum memiliki hati nurani.

Potensi Spriritual, memaknai hukum sebagai sarana ibadah. Mentaati hukum didasarkan pada nilai-nilai eskatoris yang tertanan dalam hati yang paling dalam. Munculnya pemahaman bahwa tiap tindakan akan dipertanggungjawabkan nanti di akhirat, melakukan kebaikan berarti pahala dan bila melakukan kejahatan itu adalah dosa.

Bila kempat tahapan ini dijalankan dalam sebuah tatanan masyarakat dan pemerintahan, maka akan tercapai masyarakat yang adil dan sejahtera. Karena penegakan hukum dan pemahaman hukum yang tinggi sehingga berdampak pada aspek-aspek lainnya.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2006.

Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Almaarif, Bandung, 1981.

Ary Ginanjar Agustian, ESQ, Jakarta, Penerbit Arga, Cet. 7, 2002.

........................, Slide : Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spritual ESQ.

........................, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spritual ESQ, Penerbit ARGA, Jakarta, 2007.

Hj. Hurnaini A., Artikel : KeseimbanganIQ, EQ, dan SQ dalam Presfektif Islam.

Satjipto Raharjo Raharjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006.


[1] VCD ESQ, Ari Ginanjar Agustian

[2] Slide : Ari Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spritual ESQ, Slide 13.

[3] Op.Cit., VCD ESQ.

[4] Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spritual ESQ, Ari Ginanjar Agustian, Penerbit ARGA, Jakarta, 2007, hlm. 42.

[5] Artikel. Hj. Hurnaini A., KeseimbanganIQ, EQ, dan SQ dalam Presfektif Islam ; Ary Ginanjar Agustian, ESQ, Jakarta, Penerbit Arga, 2002, Cet. 7, hlm. 57.

[6] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, Hlm. 27

[7] Ibid.

[8] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, Hlm. 53.