wibiya widget

Rabu, 04 Agustus 2010

Saatnya Hukum Mendengar Hati Nurani

M. Budi Mulyadi, SH, MH, CH.

Manusia sebagai mahluk sosial memerlukan hukum agar tiap haknya terjaga dengan baik, agar keadilan bisa tegakan, agar ketertiban bisa dilaksanakan.
Apabila seorang yang lemah mendapat perlindungan hukum dari pemerintah, dari para penindas orang yang lebih kuat. Agar yang yang lemah tidak tidak terlalu lemah dan yang kuat tidak terlalu kuat. itu adalah idelanya hukum.
Lalu tengoklah apa yang terjadi dewasa ini. Hukum hanya menjadi alat saja, bukanlah alat bagi keadilan, bukan pula menjaga keimbangan dalam kehidupan. ironinya hukum menjadi masalah sebagian dari yang lain. Jika hukum menjadi alat maka yang memegang alat adalah orang yang kuat, yang menjadikan dirinya semakin kuat, jika yang memengang alat adalah orang kaya, maka hukum menjadikannya lebih kaya lagi dengan cara yang jauh dari nilai kepantasan.

Lalu apa bedanya bila tanpa ada hukum jika semua cita-cita hukum itu tidak tercapai.

Seseorang yang memiliki akses hukum yang kuat, menggunakan hukum sebagai alat untuk menindas dan menyiksa orang, seperti contoh diatas apakah setimpal balasan atas pencurian semangka dengan tendangan pukulan setalah itu harus juga berurusan dengan hukum dan mendekam dipenjara, sebagai tulang punggung keluarga harus menapkahi keluargapun pun terpaksa ia tinggalkan. Apakah ini adil?
Apakah hukum tidak hati nurani? tentu saja tidak harena hukum ini dihidupkan oleh para penegak hukum mulai dari polisi sampai hakim. Lalu pertanyaannya kemudian apakah para penegak hukum ini tidak punya hati? Lalu kemudian mereka juga berdalih "demi kepastian hukum"
Menjadi sangat menyedihkan ketika para penegak hukum menyalahkan hukum, sedangkan hukum mereka hidupkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi.
Sudah saatnya para penegak hukum lebih mengedapankan hati nurani dibanding kepastian hukum, yang sebenarnya bisa mereka langggar atas nama keadilan, kebenaran dan hati nurani, karena para penegak hukum pun bisa melakukan diskresi.
Cukup sudah hukum menjadi permainan retorika, argumentasi dan logika, bukan itu yang butuhkan masyarakat namun keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. seorang hakim jika hanya mengandalkan intelektual dan logika saja, rasanya dengan teknologi sekarang ini bisa kita gantikan peranannya dengan keberadaan komputer, cukup buat program komputer masukan database pasal, delik, dan hukuman, maka ada kasus tinggal input dan langsung keluar berapa berat hukumannya, cukup seperti itu, bahkan sangat simpel. dunia saat ini tidak perlu hakim yang berperan sebagai terompet undang-undang, bahkan bagi hakim yang seperti itu lebih baik digantikan dengan komputer karena komputer tidak bisa disogok.
Apa gunanya jika hakim tidak menggunakan hati nurani, itulah fungsi hakim untuk memberikan keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Sudah saatnya gunakan hati nuarani dan kecerdasan lebih tinggi lagi dari sekedar intelektual, naiklah pada level selanjutnya kecerdasan emosional yang digunakan dalam penyelesaian hukum.

Sudah saatnya sistem hukum berubah menjadi lebih baik dengan menggunakan hati nurani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.